Tanggal 1 Juni adalah peringatan hari
anak – anak sedunia. Peringatan bagi seluruh anak – anak di negara masing –
masing untuk merayakannya. Disamping peringatan itu ada satu negara yaitu
Jepang yang menjadi perhatian dunia dimana jumlah anak – anaknya lebih sedikit
dibandingkan orang dewasa. Selama ini negara Jepang sedang dilanda krisis
demografi. Krisis dimana jumlah populasi penduduk di negeri tersebut terus
menerus mengalami penurunan. Jika krisis demografi di suatu negara dibiarkan dan
pemerintahnya tidak ada upaya mencari solusi maka negara akan kesulitan dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Pemerintah Jepang sendiri bertekad
bahwa untuk 50 tahun mendatang jumlah penduduk di negeri Sakura itu harus
dipertahankan pada angka 100 juta jiwa. Padahal jumlah penduduk saat ini adalah
kurang lebih 127 juta jiwa, mereka mengkhawatirkan kondisi jika pada tahun 2060
mendatang jumlah penduduknya turun drastis hingga pada angka 87 juta jiwa
itupun mayoritas yang usianya sudah lansia.
Kondisi berkurangnya penduduk di
suatu negara bukan masalah sepele, tentu itu masalah serius yang harus
melibatkan semua warga negara tersebut. Untuk menyelesaikan masalah krisis
demografi bukan hanya melihat dari segi ekonomi saja yang harus dibenahi
akantetapi harus melihat berbagai segi termasuk segi urgensinya regenerasi
keturunan. Jika hanya yang dibenahi tentang reformasi perekonomian, saya
berpendapat tidak akan ada habisnya. Misalnya saja pemerintah menjamin
kebutuhan ekonomi setiap orang dengan jumlah uang sebesar 3 juta perbulan
akantetapi realitanya pasti akan melebihi dari itu, bisa 5 atau 6 juta dan hal
ini dipastikan dari pengaruh gaya hidup masing – masing. Tentunya ini
membuktikan bahwa dengan hanya membenahi dari segi ekonomi saja akan sulit sampai pada titik penyelesaian.
Beberapa sumber seperti New York
Times menyampaikan bahwa alasan wanita Jepang banyak yang memilih berstatus
lajang alias tidak menikah diantaranya adalah para wanita Jepang sangat enggan
terbebani untuk mengurus anak, enggan berbakti kepada suami, enggan untuk saling terbuka saat sudah menjadi
suami istri, biaya hidup yang mahal dan mungkin masih ada alasan lain yang
bervariasi. Alasan – alasan inilah yang membuat mereka malas untuk membangun
rumah tangga dan enggan membina keluarga menjadi besar yang banyak keturunannya.
Kondisi tersebut diperparah dari pihak laki – lakinya yang mayoritas bergantung
kepada orang tua alias tidak mau mandiri dan tidak mau ambil resiko untuk
memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang menjadi tangung jawabnya dengan alasan
biaya hidup yang semakin berat. Sehingga akhirnya laki – laki dan wanita di
Jepang saling menjaga jarak untuk menghindari ikatan rumah tangga.
Hal yang harus diwaspadai
Jepang dengan Indonesia sudah jelas berbeda.
Perbedaannya sangatlah banyak, baik dari segi cultural ( budaya ), geografis (
letak wilayah ),religion ( agama ) dan yang lainnya. Kita sebagai bangsa
Indonesia tentulah menghormati perbedaan dan kita harus dapat menyaring apa
saja yang bermanfaat dari perbedaan tersebut. Problematika di Jepang yang saat
ini dialaminya ( krisis demografi ) merupakan salah satu perbedaan yang
menonjol antara Jepang dengan Indonesia. Dari tahun ke tahun negara Jepang
mengalami penurunan jumlah penduduk akantetapi sebaliknya, Indonesia mengalami
pertambahan jumlah penduduk. Indonesia sendiri di era 80-an jumlah penduduknya
sekitar 175 juta jiwa, sedangkan di abad ke -
21 ini kalau melihat data statistik Indonesia tahun 2014 sudah mencapai
angka lebih dari 244 juta jiwa.
Ada beberapa hal yang harus
diwaspadai oleh bangsa Indonesia terutama kaum muda terhadap gaya melajangnya
para pemuda dan pemudi Jepang sekarang ini. Diantara yang harus kita waspadai
adalah :
1. Memilih tidak
menikah ( melajang ) merupakan bukan fitrah manusia. Nenek moyang manusia yang
pertama memang tadinya hidup sendiri tanpa ada pendamping yang menemani namun
kemudian diciptakan pasangannya dan melalui hidup bersama dengan pasangannya
itulah mereka memperoleh ketentraman serta kebahagiaan sehingga akhirnya berkembang
biak dan memakmurkan dunia ini. Maka dengan tidak menikah dan tidak ada
keturunan, dunia ini tidak akan berkembang dinamis.
2. Memilih melajang
mengarah pada penekanan atas penyaluran kebutuhan biologis yang dibenarkan
kearah yang tidak dibenarkan. Setiap manusia normal tentu membutuhkan
penyaluran biologis dan akan sangat tidak normal jika kebutuhan itu ditekan
bahkan dihilangkan. Penyaluran kebutuhan biologis yang dibenarkan adalah tentu
dengan ikatan pernikahan yang sah, sedangkan yang tidak dibenarkan adalah
pergaulan bebas ( freesex ). Dimana pun negaranya pasti menilai negatif
terhadap pergaulan bebas.
3. Memilih tidak
menikah dengan alasan ekonomi akan memunculkan banyak masalah sosial. Saat
alasan ketidakmampuannya dalam mencukupi kebutuhan ekonomi maka banyak orang
yang mengalami depresi, mengalami gangguan jiwa, bunuh diri, kejahatan seksual
dan masalah – masalah lainnya.
4. Memilih melajang
( tidak menikah ) akan memutuskan generasi keturunan. Jumlah penduduk yang
selama ini sudah berkembang akantetapi pada satu saat terhenti dengan waktu
yang cukup lama karena tidak adanya
pemuda dan pemudi yang menikah maka besar kemungkinan generasi keturunannya
akan punah.
Empat hal diatas harus menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia yang
memiliki budaya harmoni dan teridiri dari warga negara yang mayoritas memeluk
agama. Kehidupan modern yang ada di negara Jepang bukan berarti secara
keseluruhan memiliki nilai positif. Gaya melajang para pemuda dan pemudi di Jepang
sungguh tidak pantas jika terjadi di Indonesia. Dengan demikian kita harus
waspada dengan perkembangan modernisasi di setiap negara termasuk mewaspadai
gaya melajang pemuda pemudi di negeri Sakura tersebut.
No comments:
Post a Comment